top of page

Menjadi Lebih Sukses dengan Membangun Budaya OKR yang Benar


Pelatihan OKR : Membangun Budaya OKR yang Benar Jimmy Sudirgo

“OKR mempunyai andil membawa pertumbuhan bisnis Google puluhan kali lipat hingga kini.” - Larry Page, co-founder Google.

Tulisan ini adalah serial pelatihan OKR, semoga bermanfaat untuk Anda.

Konsep OKR secara sederhana dikenalkan oleh Andy Grove, tokoh legendaris Intel. Pada masa itu masih bernama iMBO (Intel Management By Objectives), yang dipakai sebagai sistem goal-setting untuk setiap karyawan Intel. Kemudian dipopulerkan oleh John Doerr, mantan karyawan Intel, dan diberi nama OKR (Objectives & Key Results). Selanjutnya ketika beliau bekerja sebagai pemodal ventura, dia mulai menerapkan konsep OKR di setiap perusahaan yang dia investasi, termasuk Google di masa awalnya sekitar 1999.


Menilik pada sejarahnya, iMBO dipengaruhi oleh pemikiran guru manajemen Peter Drucker, yang menerbitkan buku fenomenalnya The Principle of Management sekitar 1954, dan mulai diadopsi oleh Intel di era 1970an pada masa awal berdirinya oleh Andy Grove. Konsep original Management By Objectives (MBO) adalah bagaimana mengoptimalkan potensi yang penuh dan sekaligus tanggung-jawab dari setiap insan SDM di organisasi, yang pada saat yang bersamaan diberikan visi atau tujuan yang sama untuk dicapai. Jadi ada keharmonisan antara tujuan individual dan tujuan bersama yang dibangun melalui kepercayaan dan teamwork yang baik.


Sayangnya konsep awal MBO yang baik itu kemudian dalam pelaksanaannya menjadi salah kaprah. Goal ditentukan secara terpusat di level atas dan ketika diturunkan ke level dibawahnya, tidak nyambung atau terkotak-kotak antar bagian (silo), tidak ada keselarasan. Kemudian seringkali diwujudkan menjadi KPI (Key Performance Indicator) tapi hanya berupa angka-angka saja dan kehilangan ‘roh’-nya sehingga tidak memotivasi SDM yang ada. Apalagi jarang di-update atau dimonitor hasilnya. Menunggu setahun sekali pada waktu performance appraisal. Yang lebih parah lagi ketika MBO tadi dihubungkan dengan gaji dan bonus. Target KPI tadi justru bukan menjadi semangat untuk mencapai yang terbaik, namun KPI apa yang paling ‘aman’ dan ‘tidak membahayakan’ diri. Apakah Anda pernah melihat kejadian-kejadian di atas? Atau bahkan mungkin pernah mengalami sendiri juga ya?


Pemikiran Peter Drucker ini tersirat menggambarkan bahwa perusahaan itu dibangun di atas dasar trust (kepercayaan) dan rasa hormat pada setiap insan di dalam organisasi tersebut. Jadi tidak melulu bahwa perusahaan itu adalah mesin uang untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bagaimana dengan di perusahaan kita sendiri, apakah SDM yang ada sudah diberikan rasa hormat dan kepercayaan untuk bersama-sama mencapai tujuan utama perusahaan? Atau justru sebaliknya SDM hanya dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan perusahaan dan dieksploitasi semaksimalnya? Dalam Conversational Intelligence kita telah belajar bahwa kepercayaan dan kualitas hubungan yang sehat inilah, justru fondasi penting untuk membangun budaya organisasi yang sehat dan berkinerja tinggi.


Di Intel, konsep MBO ini kemudian disempurnakan dengan fokus pada tolak ukur yang jelas dan terukur. Semangat OKR adalah setiap orang mesti sangat jelas apa goal (objectives) yang ingin dicapai oleh perusahaan, hingga tujuan tim sampai level individual. Kemudian apa ukurannya bahwa kita telah mencapai tujuan tersebut, ini yang dinamakan Key Results. Kalau objectives bisa dengan horison setahun atau lebih dan mungkin sifatnya top-down. Sedangkan Key Results dibuat lebih jangka pendek yakni tiga bulanan. Key Results disini yang menjadi tolak ukur eksekusi yang jelas dan ada angkanya (numerik). Saat proses penyusunan Key Results ini sebaiknya melibatkan karyawan yang bersangkutan, bottom-up, sehingga ada proses komunikasi dan negosiasi supaya ada keterlibatan dan rasa memiliki pada diri yang bersangkutan. Langkah selanjutnya, bersama karyawan tersebut menggali apa saja inisiatif rencana tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai Key Results tersebut. Bagi Andy Grove yang penting bukan apa yang diketahui oleh karyawan yang ada, karena seringkali mereka sudah cukup pandai sebenarnya, tapi yang penting adalah eksekusinya. Apa yang di-deliver oleh setiap karyawan tersebut yang menunjang tujuan utama perusahaan. Jadi mindset yang hendak dibangun disini adalah kejelasan tujuan yang hendak dicapai, bagaimana kita tahu bila sudah tercapai dan bagaimana cara mencapainya.


OKR yang telah disusun sebaiknya dibuat visible (tampak) karena semakin sering terlihat akan semakin mengingatkan pada prioritas tujuan yang hendak dicapai. Ini adalah esensi goal-setting. Karena seringkali dengan berbagai rutinitas aktifitas, kita bisa lupa pada hal terpenting yang mesti dicapai. Kita terjebak dalam apa yang disebut “activity-trap” dan kehilangan fokus yang sebenarnya.


Cara paling sederhana yang bisa dilakukan dengan mengeprint OKR dan ditempelkan di tempat yang mudah dilihat oleh kita. Atau bila kita sudah mempunyai aplikasi collaboration tools bisa pula dimanfaatkan, sehingga tidak perlu diprint. Yang penting tujuannya, membuat goal tiap orang menjadi transparan, dimana orang lain bisa melihat, dan ada proses penyelarasan (alignment) dengan goal bagian yang lain.


Tidak cukup disini saja, yang penting adalah proses review secara rutin, yang di OKR sering dinamakan check-in. Kebiasaan review dilakukan rutin misalnya meeting mingguan 1 on 1 antar individu dengan atasannya. Meeting dua mingguan bersama satu tim. Hingga meeting bulanan dan meeting kuartalan. Disinilah terjadi proses 3C (communication, coordination dan collaboration). Ada pemberian feedback yang konstruktif dan sekaligus apresiasi terhadap setiap pencapaian yang ada. Ingat, apresiasi akan meningkatkan rasa percaya diri dalam diri seseorang.


John Doerr menamakan kebiasaan diatas sebagai CFR (Communication, Feedback dan Recognition). Kegiatan ini sebenarnya juga akan membangun Conversational Intelligence (C-IQ) di dalam diri kita, karena dasar pemikiran C-IQ juga sejalan dengan CFR. Kualitas komunikasi yang sehat, akan membangun kualitas hubungan yang sehat pula, pada akhirnya akan membangun budaya organisasi yang efektif.


Inilah esensi budaya OKR yang sehat. Jadi penerapan OKR bukan soal menggunakan management tool semata, namun yang lebih penting membangun budaya kerja dengan mindset OKR di setiap insan yang ada. Tugas siapakah untuk melakukan semua hal di atas? Tugas Leader alias diri kita semua. Karena saya percaya orang berubah bukan dengan paksaan atau intimidasi, melainkan dengan teladan dari para leader-nya. Bukankah tugas leader yang terutama adalah membangun dan memelihara budaya kerja yang efektif?


Bagaimana pendapat Anda?



306 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page